HUKUMNASIONALPENDIDIKAN

Salah Kaprah Soal Denda Damai, Menteri Hukum Andi Atgas DiKuliahi Kejaksaan Agung

×

Salah Kaprah Soal Denda Damai, Menteri Hukum Andi Atgas DiKuliahi Kejaksaan Agung

Sebarkan artikel ini
Menteri Hukum Supratman Andi Atgas, di Kantornya.

Menteri Hukum Kabinet Prabowo “perlu belajar hukum” lagi. Ketentuan dan penerapan Denda Damai dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan, disalah-mengerti oleh Menteri Hukum Supratman Andi Atgas. Dipikirnya regulasi untuk mengampuni koruptor. Kejaksaan Agung pun turun tangan meluruskan dan menjelaskan. Menteri Hukum RI akhirnya minta maaf.

JScom, JAKARTA – Kejaksaan Agung (Kejagung) menegaskan bahwa ketentuan denda damai yang tertuang dalam Undang-Undang (UU) Kejaksaan yang baru tidak bisa digunakan untuk menyelesaikan masalah tindak pidana korupsi atau tipikor.

Penegasan ini sekaligus membantah pernyataan Menteri Hukum (Menkum) Supratman Andi Agtas, yang menyebutkan bahwa selain pengampunan dari presiden, pengampunan bagi pelaku tindak pidana, termasuk koruptor, bisa juga diberikan melalui denda damai karena sudah ada aturannya dalam UU Kejaksaan terbaru.

“Denda damai dalam UU Kejaksaan itu bukan untuk pengampunan koruptor tapi penyelesaian perkara tindak pidana ekonomi seperti kepabeanan, cukai, hingga pajak,” tegas Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Harli Siregar kepada wartawan, Kamis (26/12/2024).

Ketentuan denda damai itu tertuang di dalam Pasal 35 Ayat (1) huruf k Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.

Di dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa jaksa agung mempunyai tugas dan wewenang menangani tindak pidana yang menyebabkan kerugian perekonomian negara dan dapat menggunakan denda damai dalam tindak pidana ekonomi berdasarkan perturan perundang-undangan.

Bacaan Sahabat JS  Pemiliknya Orang “Kuat”, KPK Enggan Publis Yayasan Misterius Penerima Uang CSR BI, Benarkah?

Harli mengatakan, ketentuan di dalam beleid itu adalah untuk UU sektoral yang merugikan perekonomian negara dan termasuk dalam tindak pidana ekonomi.

“Nah, jadi kewenangan itu yang di-adopted di undang-undang kejaksaan No 11 Tahun 2021. Itu berlaku hanya untuk tindak pidana ekonomi misalnya kepabeanan, cukai, dan perpajakan. Jadi bukan tipikor,” kata Harli.

“Kalau dari aspek teknis yuridis, tipikor tidak termasuk yang dapat diterapkan denda damai yang dimaksud Pasal 35 (1) huruf k, kecuali ada definisi yang memasukkan korupsi sebagai tindak pidana ekonomi,” imbuhnya.

Sementara, untuk menyelesaikan kasus korupsi, ada mekanisme uang pengganti bila mengacu pada ketentuan di dalam UU Tipikor.

“Penyelesaian tipikor berdasarkan UU Tipikor, yaitu dengan uang pengganti” tegasnya.

Harli mengungkapkan, ketentuan terkait denda damai sebelumnya sudah diatur dalam UU Darurat Nomor 7 Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi. 

Dalam aturan tersebut, jaksa agung diberikan hak dan wewenang untuk menerapkan denda damai bagi pelaku kejahatan ekonomi. 

“Tapi, itu tidak berlaku bagi koruptor. Di sisi lain, karena undang-undang kita itu masih baru, masih nanti dirumuskan seperti apa. Karena memang itu dasarnya jelas di undang-undang darurat itu, memang masih berlaku,” tambahnya.

Bacaan Sahabat JS  LATAMLA : Kausalitas Pencabutan Status Geosite Bokimaruru dan Rusaknya DAS Sagea, Perlu Dibuktikan

Penanganan perkara korupsi bukan termasuk ke dalam UU Tindak Pidana Ekonomi. Sebab, penanganan perkara korupsi diatur berdasarkan UU Tipikor.

“Di luar itu yang paling penting kita pahami, itu nggak sama klasternya. Kalau pemikirannya masih seolah-olah Tipikor itu bagian dari Undang-Undang Tidak Pidana Ekonomi, ya bisa jadi berabe,” tegas Harli.

Sebelumnya, Menteri Supratman menyatakan, selain pengampunan dari Presiden, pengampunan bagi pelaku tindak pidana, termasuk koruptor, bisa juga diberikan melalui denda damai.

Dia menjelaskan kewenangan denda damai dimiliki oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) lantaran Undang-Undang (UU) tentang Kejaksaan yang baru memungkinkan hal tersebut.

“Tanpa lewat Presiden pun memungkinkan memberi pengampunan kepada koruptor karena UU Kejaksaan yang baru memberi ruang kepada Jaksa Agung untuk melakukan upaya denda damai kepada perkara seperti itu,” jelaskata Supratman, Rabu (25/12/2024), dikutip dari Antara.

Namun, implementasi denda damai masih menunggu peraturan turunan dari UU tentang Kejaksaan.

Sementara itu, Ketua Komisi Kejaksaan (Komjak) RI Pujiyono Suwadi menilai, jika persoalan korupsi seseorang ingin dapat diselesaikan dengan mekanisme denda damai, maka perlu aturan yang lebih rinci yang dibuat untuk mengaturnya di dalam turunan UU Kejaksaan.

“Untuk mencegah moral hazard, aturan harus jelas. Tidak hanya ada, tetapi harus detail,” kata Pujiyono dalam wawancara dengan Kompas.com, Kamis (26/12/2024). Dia juga menekankan bahwa tidak semua kasus korupsi seharusnya bisa diselesaikan dengan denda damai.

Bacaan Sahabat JS  Alih-alih Mewakili Warga, Nasib Apes 10 Pengurus RT di Cinere, Divonis Denda Rp. 40 Miliar

Menurut Pujiyono, hanya kasus korupsi skala kecil atau petty corruption yang bisa diselesaikan dengan cara tersebut. Besaran case korupsi angka kerugiannya berapa? Apakah termasuk petty corruption? Ataukah semua tindak pidana korupsi?

“Ini harus clear. Artinya kalau saya (berpandangan) harus ada batasannya bukan semua tindak pidana korupsi tetapi yang mungkin sifatnya pada angka-angka tertentu,” ucapnya. Pujiyono mendorong publik untuk mengubah cara pandang terhadap hukuman bagi pelaku tindak pidana korupsi. Pasalnya, selama ini masyarakat masih menginginkan agar koruptor dihukum maksimal.

Menteri Hukum (Menkum) Supratman Andi Agtas akhirnya meminta maaf atas polemik mengenai denda damai dalam konteks tindak pidana korupsi. Dia mengatakan, apa yang dia sampaikan sebelumnya hanya bertujuan sebagai perbandingan atau komparasi.

“Sekali lagi, ini kalaupun nanti ada yang salah mengerti dengan apa yang saya ucapkan, ya saya menyatakan saya mohon maaf,” tegas dia di kantornya, Jumat (27/12/2024). Supratman menegaskan pernyataan soal denda damai dalam kasus korupsi bukanlah usulan atau kebijakan resmi.  “Yang ingin saya luruskan adalah soal denda damai. Yang saya maksudkan itu adalah meng-compare,” kata dia. (RED)