Sultan Tidore Figur Pemersatu, Cagub Malut Yang Paham Adat Se-Atorang

Pasca Pendaftaran Bakal Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Maluku Utara Pilkada 2024, identitas lokal mulai jadi wacana khalayak. Sultan Tidore – Asrul jadi harapan baru kepemimpinan, mengembalikan Maluku Utara sebagai pemilik identitas sejati bersemboyan MARIMOI NGONE FUTURU. Implementasi Adat Se-Atorang akan jadi penggerak membaiknya kehidupan, terutama sistem pemerintahan dan birokrasi propinsi Maluku Utara yang kerap bermusibah.

JScom, JAKARTA – Diskursus kepemimpinan Sultan Tidore Husain Alting Syah di arena Pilgub 2024 adalah cerita menarik dan juga harapan. Kondisi Maluku Utara yang sedang jadi sorotan publik nasional terkait kasus-kasus seputar koprupsi adalah catatan buruk perjalanan daerah ini sejak pemekaran propinsi 1999. Di momen pemilihan gubernur kali ini, kriteria figur bersih, sosok karismatik, tokoh adat, akan jadi pilihan publik sebagai Kepala Daerah.

Diskusi singkat www.jurnalswara.com bersama Habib Ahmad Assagaf, mengungkap fakta kekinian pembangunan Maluku Utara yang terus terhidrasi akibat menipisnya peran adat dan budaya. Salah kaprah menempatkan adat budaya sebagai benteng prilaku masyarakat Moloku Kieraha. “Pemerintahan dan pembangunan yang diurus oleh orang yang tidak paham adat budaya kita, ya kondisinya seperti ini,” ujar Habib Ahmad Assagaf.

Mantan Ketua PC NU Halmahera Selatan dan Pengurus NU Provinsi Maluku Utara ini mengaku risih dengan model kepemimpinan Maluku Utara saat ini.  Pemerintahan yang dinilainya miskin kolaborasi, dan terkesan menutup diri. Kondisi ini, tentu sarat dengan dugaan Kolusi Korupsi dan nepotisme.

“Anda (wartawan) bisa lihat sendiri, seperti apa dampak dari sitem birokrasi yang buruk, dan kini sudah kita saksikan. Nah, kalau dampak buruk hanya menimpa kepada oknum, tidak jadi soal. Tapi jika peran kepemimpinan berdampak kepada seluruh aspek dan mengorbankan daerah dan rakyat, tentu hal ini adalah kecelakaan kolektif,” ujar Adik Kandung Perintis Pemekaran Maluku Utara, almarhum Drh. Muhammad Iqbal Assagaf ini.

Lalu, solusi seperti apa untuk Maluku Utara ke depan? Menurut Habib Assagaf, Maluku Utara harus punya pemimpin yang bersih dari segala isu korupsi kolusi dan nepotisme, sosok kharismatik, memiliki pengetahuan kepemimpinan, dan pahami adat istiadat Maluku Utara.

“Saya menekankan pada point pemahaman Adat Istiadat dan Budaya Maluku Utara. Hal ini sangat penting. Mengapa? Kita bisa menyaksikan Sejarah Kepemimpinan Maluku Utara yang dipimpin para sultan-sultan yang hebat. Mereka tidak sekadar memerintah dan membangun daerah untuk rakyat, tapi mampu berhubungan secara konomis dengan daerah dan negara lain. Kuncinya, mereka para pemimpin memegang prinsip Adat Se-Atorang,” kata Habib.

Selain Konsep Adat Se-Atorang yang harus dipulih-kembangkan, yang tak kalah inti adalah semboyan Marimoi Ngone Futuru yang makin tergerus maknanya saat ini. Kalimat Marimoi Ngoni Futuru (Bersatu Kita Kuat) nyaris hanya sebait tulisan tanpa makna di logo sebagai identitas daerah. Masyarakat terbelah hanya karena kepentingan sesaat, pemimpin pun gemar memelihara perpecahan dan hanya melindungi kelompoknya.

“Sudah saatnya kita kembali ke pola hidup yang dituntun Adat Se-Atorang yang sudah terbukti membuat kita hidup rukun dan maju berperadaban sejak jaman dulu. Marimoi Ngone Futuru harus jadi sikap bersama. Tentu semua ini harus berawal dari pemimpin, sosok pemimpin daerah. Nah, di Pilkada 2024 kita tidak boleh salah memilih pemimpin,” imbau Habib Assagaf.

Sultan Tidore Husain Alting Syah dan Asrul Rasyid Ichsan (HAS), menurut Habib Ahmad Assagaf adalah dua tokoh ideal untuk memimpin Maluku Utara 5 tahun ke depan. Sultan Tidore sangat paham kondisi daerah, adat istiadat, budaya. Sultan mampu mengembalikan posisi degradasi adat budaya saat menjadi kekuatan bersama, dan menjadikannya sebagai modal pembangunan Maluku Utara.

Habib juga menyoroti sosok Asrul yang selama ini malang melintang di politik dan struktur PDI perjuangan, tentu sangat memahami kebutuhan publik dan kemana Maluku Utara akan mengarah. Juga PDI Perjuangan yang selama ini dikenal sebagai Partainya Wong Cilik, tentu menjadi motivasi Sultan Tidore-Asrul untuk menyelesaikan problem masyarakatnya.

Adat Istiadat – Budaya sebagai modal pembangunan, tambah Habib, dimaksudkan sebagai dasar dan standar prilaku masyarakat, terutama pemimpinnya. Masyarakat yang menghormati pemimpinnya, karena sang pemimpin tegak lurus pada norma, tidak melakukan perbuatan tercela dan bertentangan dengan hukum.

“Syarat ini hanya ada pada Sultan Tidore dan Asrul Rasyid Ichsan. Kedua sosok ini bersih dari isu-isu dugaan korupsi dan perbuatan tercela lainnya. Dan figur seperti inilah yang saya katakan sebagai figur yang paham Adat Se-Atorang,” kunci Habib Ahmad Assagaf.(red)