BICARA tentang masa depan Kabupaten Kepulauan Sula, tidaklah kita berwacana infrastruktur semata, apalagi sekadar berhitung untung rugi proyek jangka pendek. Kita sedang berbicara tentang masa depan peradaban, tentang manusia Sula—pikiran, etika, dan kapasitasnya dalam memimpin perubahan.
Oleh: Mohtar Umasugi
SAYA percaya bahwa keberadaan STAI Babussalam Sula Maluku Utara sebagai satu-satunya Perguruan Tinggi di Kabupaten Kepulauan Sula adalah titik simpul priority sebuah perjalanan membangun sumber daya manusia (SDM) yang tercerahkan.
Di tengah besarnya harapan itu, STAI Babussalam justru seperti melangkah dalam lekuk jalan peradaban—memantik jalan yang terjal, penuh kerikil tajam dan minim pelita. Kampus ini, yang seharusnya menjadi pusat lahirnya intelektual muda Sula. Lembaga pendidikan tinggi yang berlumur keterbatasan fasilitas, kekurangan dosen tetap, minimnya uang operasional, hingga perhatian pemerintah daerah yang belum sungguh-sungguh.
Saya menyaksikan sendiri bagaimana semangat para mahasiswa dan dosen di kampus ini tidak pernah padam, meski ruang kelasnya sederhana, perpustakaannya terbatas, dan jaringan akademiknya masih terbatas pada level lokal. Tapi semangat saja tidak cukup untuk melawan tantangan zaman yang bergerak cepat. STAI Babussalam perlu didorong menjadi bagian dari strategi besar pengembangan SDM Sula—bukan hanya untuk menyiapkan tenaga kerja, tapi juga melahirkan pemikir, pendidik, dan pemimpin masa depan daerah ini.
Ironisnya, dalam banyak diskusi pembangunan daerah, STAI sebagai satu-satunya perguruan tinggi di Sula nyaris absen dari perhatian strategis. Pemerintah sibuk membangun jalan dan gedung, tetapi lupa membangun manusia. Padahal, jalan dan gedung akan lapuk oleh waktu, sementara manusia yang cerdas dan berintegritas akan menjadi fondasi peradaban yang tahan lama.
Bila kejujuran jadi paramater, maka tak salah jika harus mengatakan pemerintah daerah selama ini belum menempatkan pendidikan tinggi lokal sebagai prioritas strategis dalam perencanaan pembangunan jangka menengah (RPJMD). Ini terlihat dari minimnya alokasi anggaran yang dialirkan langsung untuk menopang keberlangsungan dan penguatan lembaga seperti STAI Babussalam. Padahal, dalam semangat otonomi daerah dan amanat Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, pemerintah daerah memiliki ruang yang cukup untuk berkontribusi secara signifikan terhadap penyelenggaraan pendidikan tinggi di wilayahnya.
Dalam konteks political will. Pemerintah cenderung melihat pendidikan tinggi sebagai urusan pusat, padahal secara substansial, daerah justru berkepentingan besar terhadap output SDM yang dilahirkan dari lembaga-lembaga lokal seperti STAI Babussalam. Sayangnya, kebijakan fiskal dan penganggaran daerah masih berkutat pada urusan rutin dan seremonial, bukan pada investasi jangka panjang seperti pendidikan tinggi berbasis lokalitas.
Sedihnya, ketika pemerintah daerah berbangga mengirim mahasiswa ke luar daerah melalui beasiswa besar, namun mengabaikan mahasiswa lokal yang belajar dan berjuang dalam keterbatasan di kampus sendiri. Apakah kita sedang membangun SDM unggul ataukah sedang memelihara ketimpangan struktural dalam distribusi pengetahuan?
Sudah saatnya ada regulasi turunan di tingkat Peraturan Daerah (Perda) yang mengikat dan mengatur tentang dukungan anggaran terhadap pendidikan tinggi berbasis komunitas lokal. Sebuah Perda yang mendorong pengalokasian Dana Hibah Pendidikan Tinggi, baik dalam bentuk operasional kelembagaan, pengembangan riset, hingga program afirmasi beasiswa bagi mahasiswa STAI Babussalam. Ini bukan soal “kasihan”, tapi soal keadilan pembangunan dan keberpihakan terhadap institusi lokal yang secara langsung membentuk wajah intelektual masyarakat Sula.
Saya mengajak seluruh pemangku kepentingan, terutama para legislator daerah, untuk tidak lagi melihat STAI Babussalam sekadar kampus kecil di balik gunung dan dibawah rimbun semak belukar, tetapi harus dilihat sebagai mitra strategis dalam membangun SDM unggul dan masyarakat madani. Di sinilah peradaban kita sedang diuji: apakah kita serius membangun masa depan, atau hanya pandai menata masa kini demi pencitraan semata?
Sula hari ini membutuhkan ekosistem dan polulasi kaum intelektual yang kuat—dan itu hanya bisa tumbuh jika STAI Babussalam mendapat perhatian dan dukungan maksimal. Kita butuh sinergi antara pemerintah daerah, sektor swasta, dan masyarakat sipil untuk memodernisasi perguruan tinggi lokal ini, menjadikannya pusat ilmu yang relevan dengan kebutuhan masyarakat pesisir dan kepulauan.
Saya percaya, tidak ada pembangunan yang betul-betul berpihak pada rakyat jika SDM lokal terus menjadi penonton di negerinya sendiri. Jika kita ingin melihat Sula yang berdaya, maka kita harus memulainya dari hal yang paling mendasar: memperkuat pendidikan tinggi lokal. Sebab di sanalah benih-benih peradaban ditanam dan dipelihara.
STAI Babussalam Sula bukan hanya simbol pendidikan Islam di daerah, tapi juga simbol harapan Sula untuk bangkit sebagai wilayah yang mencetak generasi berpikir, bernalar, dan bertindak demi kemajuan kolektif.
Sekali lagi, saya mengajak kita semua: mari hentikan sikap apatis terhadap perguruan tinggi lokal. Mari investasikan perhatian dan kebijakan pada lembaga yang sedang berjuang menyalakan cahaya dalam gelapnya jalan peradaban ini. Karena jika kita gagal merawat kampus STAI Babussalam hari ini, maka jangan salahkan siapa pun bila esok hari Sula dan generasinya tetap berada di persimpangan makna bahkan di pinggiran sejarah.
Kampus STAI Babussalam Sula; 9 April 2025