Kondisi kritis empat Daerah Aliran Sungai (DAS) di Halmahera Tengah, Maluku Utara, perlu pemulihan segera. Deru mesin dan gerak alat berat milik lima perusahaan tambang, diduga kuat merusak lingkungan di sana. Terakhir, kekeruhan air Sungai Sagea jadi trending wacana peduli, betapa air Sungai yang jadi penghidupan warga setempat telah rusak. Lembaga Advokasi Tambang dan Laut (LATAMLA) mendesak Kementerian ESDM, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI membentuk Tim Audit Lingkungan Independen, memastikan penyebab kerusakan alam di Halmahera Tengah.

JScom, TERNATE – Lembaga Advokasi Tambang dan Laut (LATAMLA) menyebut kerusakan Daerah Aliran Sungai (DAS) Sagea, di Halmahera Tengah, Maluku Utara, akibat aktifitas tambang harus menjadi atensi pemerintah pusat. Kekeruhan DAS Sagea sejak Juli 2023, harusnya menjadi catatan khusus Kementerian Terkait. Setidaknya, penyebab kerusakan sudah diketahui, menyusul aksi rehabilitasi dan normalisasi lingkungan sekitar DAS.
Demikian Syed Faiz Albaar, Presiden Lembaga Advokasi Tambang dan Laut (LATAMLA), menyoroti kerusakan lingkungan terutama DAS Sagea, yang airnya kini tak lagi dikonsumsi oleh penduduk sekitar Sungai, karena keruh, dan diduga tercemari lumpur akibat aktifitas tambang.
Tak cuma DAS Sagea, LATAMLA juga mencatat, ada tiga sungai lain, masing-masing Sungai Kobe, Akejira, dan Sungai Waleh. Keempat sungai besar ini diduga telah tercemari sebagai akibat deforestasi dan aktifitas tambang oleh perusahaan di Halmahera Tengah. Aktifitas pertambangan khususnya di Teluk Weda berjalan massif. Terdapat 19 izin usaha pertambangan (IUP) dengan total luasan 46.129 hektare.
Mengutip Investigasi Forest Watch Indonesia (FWI) pada September 2023, Faiz Albar mengaku keruhnya Sungai Sagea disebabkan oleh erosi akibat pembukaan hutan di bagian hulu DAS Sagea yang masuk dalam konsesi tambang. “Telah terjadi deforestasi seluas 392 ha di DAS Sagea. Selain itu verifikasi lapangan juga menunjukkan fakta serupa,” ujar Faiz merujuk fakta investigasi FWI.

Fakta lain, tambah Faiz, area konsesi PT Weda Bay Nikel (WBN) dan PT. Halmahera Sukses Mineral (HSM) masuk dalam DAS Sagea. Harusnya tidak seceroboh ini. Pemberian izin pertambangan wajib merujuk pada kelestarian lingkungan, sebagaimana telah diatur oleh Undang-Undang. Apalagi DAS Sagea bersinggungan dengan eksistensi Sungai Bawah Tana Gua Bokimoruru.
Diketahui, Sungai Sagea merupakan perwujudan sistem sungai bawah tanah Gua Batulubang Bokimoruru yang muncul ke permukaan melalui mulut gua. Berdasarkan paparan BPDASHL Ake Malamo, aliran Sungai Sagea berasal dari DAS Ake Yonelo dan Ake Sepo yang berada di bagian hulu. Kedua sungai tersebut mengalir ke arah Selatan-Tenggara dan masuk melalui sistem gua di kawasan Karst Sagea, kemudian muncul kembali sejauh 4 km di Gua Bokimoruru.
Pengelolaan DAS Sagea seharusnya mencakup wilayah DAS Yonelo dan DAS Sepo karena dua sungai tersebut yang diduga kuat menjadi hulu dari sumber aliran sungai Sagea. Terlebih aktivitas pertambangan yang berada di wilayah DAS Yonelo dan Sepo telah memberikan dampak kepada Sungai Sagea. Keruhnya Sungai Sagea membuktikan bahwa sumber air Sungai Sagea merupakan allogenic recharge yang berasal dari luar kawasan karst.
“Kita semua berharap pemerintah baik pusat, provinsi dan daerah untuk melakukan evaluasi Izin Tambang, memonitori aktifitas dan kinerja perusahaan terhadap potensi kerusakan lingkungan di wilayah Halmahera Tengah. Pemerintah, melalui Kementerian ESDM dan Kementerian Lingkungan Hidup/Kehutanan membentuk Tim Audit Lingkungan. Bila perlu, pemerintah menutup aktifitas perusahaan yang terbukti merusak lingkungan,” tegas Faiz Albaar.
Informasi yang dihimpun www.jurnalswara.com, menyebutkan Warga dan Komunitas Save Sagea mendesak Balai Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Dinas Lingkungan Hidup, Dinas Pertambangan Maluku Utara, Balai Wilayah Sungai (BWS) serta Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) untuk memantau perubahan lingkungan akibat aktifitas tambang.
Menurut Save Sagea, bahwa sungai di sana merupakan sumber air utama untuk berbagai keperluan sehari-hari warga. Mereka pun khawatir kalau sungai ini terus alami pencemaran akan rusak dan tak bisa digunakan lagi. Lebih dari itu, Sungai Sagea adalah bagian tak terpisahkan dari bentangan Karst Wisata Bokimoruru.(red)