OPINIPOLITIK

Pareto dan Sirkulasi Elite, Antara Lions dan Foxes

×

Pareto dan Sirkulasi Elite, Antara Lions dan Foxes

Sebarkan artikel ini

Catatan Kecil di Minggu Tenang

ADALAH ilmuan Vilvredo Pareto (1848-1923), penganjur teori Circulation des Elites, menjelaskan tentang sirkulasi elite selalu terjadi sesuai tuntutan masyarakat dan kondisi sosial.

Syaiful Bahri Rurai

Sirkulasi itu menandai perubahan sebagai respons dan kemampuan adaptatifnya elite terhadap realitas sosial politik yang ada. Namun saja akan ada juga yang menimbulkan gesekan, antara Lions (singa) dan Foxes (rubah).

Lions menandai kekuatan dominan yang selalu bertahan pada segala tingkatan, untuk tetap berkuasa. Dan foxes sebagai simbol kecerdikan dan ketangkasan dalam merespons realitas sosial politik yang ada, untuk merebut posisi-posisi elite, menjadi penguasa baru.

Pertarungan isu dan perbenturan kekuatan akan mengemuka antara lions dan foxes ini, baik secara global, regional, bahkan pada tingkat nasional dan lokal. Namun dalam sejarah dunia, tak ada kekuasaan yang mampu bertahan abadi dipuncak kekuasaan, walau dengan mengeksploitasi semua sumber daya yang ada untuk kelanggengan kekuasaannya sekalipun.

Dari sinilah akan ada gesekan dan benturan, dalam transisi sirkulasi elite tersebut. Hal itu bisa terjadi para tataran isu publik, bisa terjadi dengan memanfaatkan lembaga-lembaga survey untuk mempengaruhi opini publik, bahkan memanipulasi dan falsifikasi opini. Termasuk memanfaatkan aparatus negara sedapat mungkin, juga menggelontorkan uang dan sederet janji-janji politik, bahkan ancaman dan intimidasi dan tekanan akan ditebar ke segala penjuru. Tanpa kecuali, rakyat yang dengan sengaja dimiskinkan secara struktural, untuk memudahkan praktik jual beli suara dan distribusi bantuan rejim, demi memenangkan kontestasi sirkulasi.

Bacaan Sahabat JS  Bawaslu “Mati-Kutu” di Hadapan DUO SRIKANDI Taliabu, Ningsih – Citra “Bongkar” 9 TPS PSU

Dikandangkan dalam Kerangkeng

Ini semua bisa terjadi dengan mudah, jika sirkulasi tidak ditopang oleh sistem yang established dan tidak kuat. Karenanya akan memudahkan terjadinya benturan dan konflik dalam perubahan sirkulasi tersebut.

Maklum, tidak semua kelompok bahkan bangsa, memiliki tradisi sirkulasi elite damai yang mengakar pada kultur, sebagai modal sosiologis antropologisnya. Walau tetap saja hukum perubahan sebagai natural law (sunnatullah) selalu saja akan terjadi, karena semuanya pasti mengalir.

Pengalaman Pemilihan Gubernur (Pilgub) Maluku Utara, adalah contoh terdekat, bahwa selalu terjadi gesekan dan benturan, disebabkan cawe-cawenya kepentingan pemodal, korporasi, yang ikut bermain dengan menunggangi dan memanfaatkan elite lokal. Lalu mengobok-obok rakyat, dengan mengatasnamakan demokrasi melalui isu-isu populis.

Namun saja, ketika kepentingan itu akan mengarah ke sirkulasi akhirnya, maka buntutnya adalah OTT (Operasi Tangkap Tangan) KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) secara masif dan kolektif dilakukan aparatus negara atas elite² tersebut, jika ugal²an melakukan abuse of power. Inilah yang sedang terjadi pada tingkat lokal.

Ketakutan kita, pada skala nasional juga demikian, jika foxes berhasil dengan cerdik mengakali lions, maka lions akan dikandangkan dalam kerangkeng, untuk mengakhiri gerakannya, jika rekrutment elite tidak berlangsung dari bawah. Namun saja, spesifikasi elite ala Pareto inipun tak lepas juga dari kritik, termasuk dari Talcott Parson.

Bacaan Sahabat JS  Jokowi Dilibatkan Dalam Susun Kabinet Prabowo Gibran, Ini Kata Pengamat

The rulling class, mengutip diksi Gaetano Mosca, selaku elite yang berkuasa, akan mengalami pelemahan kemampuan jika tak melakukam rekrutment tersebut dengan prosedural yang baik dari bawah. Karenanya Foxes akan mengambil alih peran lions yang semakin lemah dengan sendirinya. Dalam perspektif Pareto, sejarah adalah perebutan dan pergantian antara Lions dan Foxes yang tidak berkesudahan.

Dalam konteks itulah, tidak mengherankan jika para cendekiawan kampuspun resah, dan pada ramai-ramai mengajukan keprihatinan, kritik bahkan deklarasi, atas realitas kontestasi yang sedang berlangsung sekarang, sebagai bentuk kontribusi pemikiran untuk meluruskan jalannya sirkulasi elite. Tentu saja ada saja bantahan atasnya, sebagai reaksi atas aksi tersebut. Seakan berlakulah dialektika Hegel, yang hadir jelas melintasi didepan mata kita; tesa, antitesa dan sintesa.

Pancta rhei

Sebenarnya, jauh sebelumnya, cendekiawan Harry Julien Benda juga telah menulis tentang La Trahison des Clerc, Pengkhianatan Kaum Intelektual (1927), juga telah lama menandai adanya intelektual yang nekat mengingkari nurani untuk berkhianat, demi melanggengkan kekuasaan dan kepentingan politik rejim. Namun saja pada sisi lain, cendikiawan, juga adalah kekuatan inti suatu bangsa, dalam menjemput kemajuan dan perubahan. Karena sebagai pengemban keilmuan, ilmu sendiri bukanlah status quo dan stagnan, ia selalu objektif, dinamis, adaptatif, dan responsif atas perubahan realitas yang ada.

Bacaan Sahabat JS  The Straits Times, Asia News Network , New Naratif  Soroti Program Makan Siang Gratis Prabowo-Gibran

Noam Chomsky dalam The Responsibility of Intellectuals (2017), juga mengungkapkan signifikannya peranan dan tanggung jawab cendikiawan sebagai tuas moralitas sosial dan kebenaran, agar tidak terkooptasi pada kepentingan politik kekuasaan, bahkan mengangkangi kemanusiaan secara universal. Tak mengherankan jika pepatah Arab menyebut ilmu adalah cahaya (‘al ilmu nurun’), ia adalah penerang dalam gelap. Agar sebuah bangsa tak terperangkap dalam gulita abadi (jahiliyah).

Makanya disebutkan derajat kelompok ilmuan (ulama), adalah lebih dekat dengan nabi, karena pada merekalah sesungguhnya penerus risalah. Inilah yang sedang berlangsung beberapa hari terakhir ini, betapa geliat cendikiawan secara kolektif, tengah memasuki gelanggang sirkuslasi elite, melalui narasi² kritisnya tentang dekadennya sistem demokrasi yang tengah berlangsung, menandai sirkulasi elite nasional.

Heracletos (540 – 480 SM), filsuf Yunani kuno mengatakan, “nothing endures but change”– Tidak ada yang tidak berubah kecuali perubahan itu sendiri. Perubahan itu mutlak. Pancta Rhei (semua mengalir).

Mengutip kalimat George Bernard Shaw (1856-1950), kritikus Irlandia: “kemajuan tidak mungkin dicapai tanpa perubahan, dan mereka yang tidak dapat berubah pikiran tidak dapat mengubah apapun”.

Bahkan Tuhanpun telah berfirman- “Sesungguhnya Tuhan takkan merubah nasib sesuatu bangsa, jika tak dimulai oleh bangsa itu sendiri” (Al-Ar Raad:11).

Pesisir Halmahera, 12/02/24

Respon (4)

  1. Excellent post. I was checking continuously this blog and I’m impressed! Extremely helpful information specially the last part 🙂 I care for such information much. I was seeking this certain information for a long time. Thank you and good luck.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *