Pembangunan Pabrik Baterai Kendaraan Listrik (electric vehicle) di Halmahera mempertegas watak negara yang bebal. Negara yang hanya mengejar pertumbuhan ekonomi di tengah ancaman kerusakan lingkungan dan jeritan masyarakat. Lahan pertanian dirampas, kebun digusur, dan sungai-sungai tercemar limbah tambang dan industri.
JScom, JAKARTA – Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), Julfikar Sangaji, menilai proyek kendaraan listrik di Halmahera menghancurkan lingkungan dan berdampak hilangnya pulau-pulau di Maluku Utara.
Julfikar kepada halmaheranesia.com menjelaskan di tengah penderitaan panjang warga dan kerusakan lingkungan yang kian parah, Presiden Prabowo Subianto justru menggelar peletakan batu pertama proyek pembangunan pabrik baterai kendaraan listrik (electric vehicle/EV).
Pabrik yang diklaim sebagai ekosistem baterai listrik terintegrasi, tambah Julfikar, adalah salah satu yang terbesar di dunia ini merupakan hasil investasi perusahaan asal Tiongkok bernama Contemporary Amperex Technology Limited (CATL) dengan arah proyek meliputi pemrosesan dari hulu hingga hilir, atau dari tambang, smelter, High Pressure Acid Leach (HPAL), pre-kursor, sampai katoda.
Rencana pembangunan pabrik tersebut, kata dia, tampak mempertegas watak negara yang bebal, mengejar pertumbuhan ekonomi yang semu, tapi secara sadar mengabaikan jeritan warga dan kerusakan lingkungan, termasuk penghancuran sumber ekonomi warga lokal tanpa henti.
“Kami berpandangan, pabrik kendaraan listrik senilai 6-7 miliar dolar Amerika Serikat itu, justru akan mempercepat laju pembongkaran daratan Halmahera, memperluas wilayah operasi tambang akibat permintaan pasokan ore nikel, dan memperdalam krisis sosial-ekologis yang sudah kronis,” ujar Julfikar dalam rilisnya, Senin, 30 Juni 2025.
Ia menambahkan, selama lebih dari satu dekade berjalan, operasi tambang dan kawasan industri di Halmahera telah menghancurkan ruang pangan dan sumber air warga.
“Pencaplokan dan alih fungsi lahan secara masif membuat warga lokal kehilangan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar secara mandiri,” jelasnya.
“Lahan pertanian dirampas, kebun digusur, dan sungai-sungai tercemar limbah tambang dan industri. Akibatnya, warga terpaksa bergantung pada pasokan pangan dari luar wilayah, dan ironisnya, harus merogoh kocek demi mendapatkan air bersih, sesuatu yang sebelumnya warga bisa akses secara cuma-cuma,” sambungnya.
Tak berhenti di situ, lanjut dia, warga yang berjuang mempertahankan tanahnya kini justru berhadapan dengan negara dan korporasi.
“Sepanjang paruh pertama 2025 saja, kurang lebih dari 50 warga di Maluku Utara, harus berurusan dengan polisi, banyak di antaranya mengalami tindakan represif saat berusaha melindungi dan merawat sisa-sisa ruang hidup mereka,” paparnya.
“Kasus terbaru terjadi di Maba Sangaji, Halmahera Timur, ada 28 warga ditangkap paksa oleh polisi saat menggelar aksi protes di atas tanah adat yang dirusak tambang,” tambahnya.
Penangkapan itu terjadi secara brutal, bahkan saat warga sedang menjalankan ritual adat. Tak hanya ditangkap, sebagian dari mereka mengalami kekerasan fisik dari aparat bersenjata lengkap, kemudian 11 orang kini ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Klas IIB Ternate.
Selain itu, bagi Julfikar, pembangunan pabrik baterai kendaraan listrik ini juga menjadi alarm bahaya bagi suku O’Hongana Manyawa, yang hidup secara nomaden di hutan Halmahera.
Proyek pabrik raksasa ini tentu membutuhkan pasokan ore nikel dalam jumlah yang besar, yang sebagian besar diperoleh dari wilayah pendudukan yang tak lain adalah rumah dan tanah adat suku O’Hongana Manyawa.
“Dengan demikian, suku yang selama ini hidup terisolasi dan bergantung pada kelestarian hutan, berisiko besar akan disingkirkan demi ambisi proyek ‘transisi energi’ untuk kendaraan listrik,” jelasnya.(JsB-halmaheranesia)