Mahkamah Agung MA perberat hukuman Eks Dirut PT Pertamina (Persero), Galaila Karen Kardinah. Perjuangan memperoleh keadilan pun pupus. Hukuman 13 Tahun bui yang dijatuhkan MA, lebih berat dari vonis 9 tahun oleh PN Jakarta Pusat yang sebelumnya dikuatkan Pengadilan Tinggi DKI.
JScom, JAKARTA – Mahkamah Agung (MA) akhirnya memperberat hukuman pidana badan eks Direktur Utama (Dirut) PT Pertamina (Persero), Galaila Karen Kardinah alias Karen Agustiawan, dalam kasus korupsi pengadaan gas alam cair atau liquefied natural gas (LNG).
Karen yang sebelumnya dihukum 9 tahun penjara oleh Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat dan diperkuat oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, diperberat menjadi 13 tahun bui oleh majelis kasasi Mahkamah Agung (MA).
Pengadilan tingkat pertama, banding, maupun kasasi sama-sama menilai tindakan Karen dalam membeli LNG secara melawan hukum terbukti merugikan negara sebesar Rp 1,8 triliun. Majelis kasasi MA menyatakan, Karen terbukti melanggar Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo.Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Diketahui Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membutuhkan waktu cukup lama untuk menangani perkara dugaan korupsi Karen ini.
Perjalanan Kasus Karen
Meski sudah menangani kasus tersebut bertahun-tahun, KPK baru resmi mengumumkan Karen sebagai tersangka pada Selasa (19/9/2023). Sebelum resmi menahan Karen, KPK sudah memeriksa sejumlah pejabat perusahaan minyak dan gas pelat merah tersebut. Di antara mereka adalah eks Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Dahlan Iskan dan eks Komisaris Utama (Komut) PT Pertamina Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.
Perkara ini berawal dari rencana Pertamina membeli gas alam cair untuk menanggulangi defisit gas dalam negeri pada 2009-2040. Karen yang menjabat Direktur Utama pada 2009-2014 kemudian meneken kerja sama dengan sejumlah produsen dan supplier luar negeri, Corpus Christi Liquefaction (CCL) LLC Amerika Serikat (AS).
Namun, kontrak pembelian itu dilakukan Karen tanpa mengikuti prosedur pengadaan yang berlaku seperti kajian komprehensif.
“Selain itu, pelaporan untuk menjadi bahasan di lingkup Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) tidak dilakukan sama sekali, sehingga tindakan KA tidak mendapatkan restu dan persetujuan dari pemerintah saat itu,” kata ketua KPK saat itu, Firli Bahuri. Setelah pembelian tersebut, semua kargo yang dibeli dari CCL LLC tidak terserap di pasar domestik.
Akibatnya, kargo LNG mengalami kelebihan suplai dan tidak pernah masuk ke Indonesia. Kondisi ini menimbulkan kerugian nyata.
Pertamina akhirnya harus menjual LNG itu dengan rugi ke pasar internasional. Menurut KPK, tindakan Karen bertentangan dengan ketentuan di internal Pertamina. Di antaranya Akta Pernyataan Keputusan RUPS tanggal 1 Agustus 2012 tentang Anggaran Dasar PT Pertamina Persero.
Dari perbuatan ini,menimbulkan dan mengakibatkan kerugian keuangan negara sejumlah sekitar 140 juta dollar AS, yang ekuivalen dengan Rp 2,1 triliun (perhitungan awal).
Karen melawan, tidak terima ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan, Karen menggugat KPK ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) melalui tim kuasa hukumnya pada Jumat (6/10/2023). KPK menghadirkan 121 bukti untuk menghadapi dalil-dalil Karen dan menghadirkan ahli.
Setelah persidangan selama tujuh hari, hakim memutuskan menolak permohonan Karen diserahkan kepada jaksa penuntut umum. Ia pun diadili di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat.
Dalam tahapan pembuktian, Karen mendapatkan hak untuk menghadirkan saksi meringankan atau a de charge. Tak tanggung-tanggung, mantan bos perusahaan pelat merah itu menghadirkan Wakil Presiden RI ke-10, Jusuf Kalla (JK). “Saya ingin hadirkan Pak JK karena beliau kan yang terlibat di Perpres ya, yang tadi dibilang ya bahwa harus lebih banyak (penggunaan) gas dan itu memang kita lakukan,” kata Karen. Namun, Karen kembali kalah melawan KPK.
Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat menghukum Karen 9 tahun penjara, denda Rp 500 juta subsidair 3 bulan penjara. Ia dinilai terbukti melanggar Pasal 2 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Hukuman ini lebih ringan dari tuntutan jaksa KPK yang menuntut Karen divonis 11 tahun penjara, denda Rp 1 miliar subsidair 6 bulan kurungan.(BTP)