Penyebab kekeruhan Air Sungai Sagea tidak terlepas dari aktifitas tambang di sekitar DAS SAGEA. Pencabutan SK Bupati tentang Geosite Bokimaruru oleh PJ Bupati Halteng, adalah cerita baru penyebab tercemarnya Air Sungai Sagea. Meluasnya aktifitas PT WBN hingga ke DAS Sagea, diduga dilakukan pasca pencabutan status Geosite Bokimaruru. Benarkah?
JScom, HALMAHERA TENGAH – Pencabutan SK BUPATI tentang Penetapan Geosite Bokimaruru dan Sekitarnya Sebagai Pengembangan Geopark Halmahera Tengah diduga kuat sebagai penciutan areal geosite dan sebagai titik masuk perluasan areal konsesi tambang di wilayah DAS Sagea. Pencabutan SK ini pun tidak disertai alasan rasional, dimana pasca kebijakan ini terjadi perubahan air (kekeruhan) Sungai Sagea.
Demikian hasil kajian sementara Lembaga Advokasi Tambang dan Laut (LATAMLA) terkait aktifitas pertambangan di Halmahera Tengah yang merambah areal sekitar Geosite Bokimaruru dan DAS Sagea. LATAMLA juga meminta Pemda Halmahera Tengah menjelaskan secara akademik pencabutan Surat Keputusan Bupati Halmahera Tengah Nomor : 556/KEP/382/2021 tanggal 21 Juli 2021 yang ditandatangani oleh Bupati Halteng Drs. H. Edi Langkara.
Diketahui, pemerintahan Halteng dilanjutkan oleh Pejabat Bupati Ikram Malan Sangaji karena masa pemerintahan Bupati Edi Langkara berakhir pada 2022 lalu. Belum genap setahun menjabat, PJ Bupati Ikram kemudian mengeluarkan SK nomor 180/KEP/140/2023 tentang Pencabutan SK yang dikeluarkan oleh Bupati Edi Langkara tentang status Geosite Bokimaruru, dan dinyatakan tidak berlaku lagi. Alasan pencabutan menurut PJ Ikram adalah untuk melakukan revisi.
Presiden Lembaga Advokasi Tambang dan Laut (LATAMLA), Syed Faiz Albar, mempertanyatan dasar dan utilitas revisi hingga alasan pencabutan status Geosite Baokimaruru. “Kalau sekadar melakukan revisi, mengapa tidak dibijaki melalui upaya perubahan Surat Keputusan Bupati dimaksud. Mengapa harus dicabut?,” tanya Presiden Syed Faiz Albar.
Data yang dihimpun media ini, PJ Bupati Ikram Malan Sangaji beralasan pemda akan menyusun kembali bersama tim dari perguruan tinggi. Ikram tidak menjelaskan dasar penyusunan ulang SK Bupati tersebut. “Saya mengeluarkan keputusan ini karena sementara waktu akan dilakukan penyusunan ulang bersama tim dari Universitas Khairun Ternate,” kata Ikram kepada halmaherapost.com pada Minggu, 3 September 2023.
Penjelasan Ikram memunculkan opsi dan reaksi publik di sejumlah platform media sosial ketika perubahan warna dan kekeruhan Sungai Sagea terjadi. Publik lantas menduga kekeruhan permanen Sungai Sagea menjadi kecokelatan itu lantasan aktifitas tambang yang sudah masuk ke areal geosite Bokimaruru dan DAS Sagea pasca pencabutan SK Bupati dimaksud.
Ikram dikabarkan memahami reaksi negatif yang muncul dari publik terkait keputusan pencabutan ini. “Hanya orang-orang yang tidak memahami atau memiliki niat buruk yang mempertanyakan hal ini. Padahal, mereka sendiri tidak pernah melaksanakan hal serupa,” tegas Ikram waktu itu.
![](https://www.jurnalswara.com/wp-content/uploads/2024/10/ad3719c3-f9af-4c4a-9c6b-6ccd975a9ec4-700x400.jpeg)
Sampel studi LATAMLA mengungkapkan Sungai Sagea selama ini adalah sumber penghidupan dan dikeramatkan oleh leluhur masyarakat setempat. Air Sungai Sagea tercatat mengalami kekeruhan berulang. Puncak kekeruhan terjadi pada Juli hingga September 2023. Kekeruhan Air menyebabkan ribuan warga kesulitan mengakses air bersih, hingga melumpuhkan aktivitas pariwisata komunitas di gua Bokimaruru.
Presiden LATAMLA juga mengungkap upaya dari komunitas #SaveSagea yang pernah mengamati langsung sebaran hulu-hilir pencemaran, lalu menganalisis penyebab keruhnya sungai Sagea. Hasilnya menunjukkan, bahwa meski sering keruh ketika terjadi hujan lebat, secara visual kekeruhan seperti saat ini berbeda dari sebelum dan lebih mirip sungai-sungai yang telah tercemar sedimen tambang seperti Kobe dan Waleh.
Menurut Faiz, #SaveSagea juga mengumpulkan foto citra satelit dari bulan Maret hingga Agustus, dan ditemukan terdapat bukaan lahan dan pembuatan jalan di wilayah Sagea Atas. Kawasan tersebut masuk dalam konsesi PT. Weda Bay Nickel (WBN). PT. WBN merupakan perusahaan pertambangan nikel yang terintegrasi dengan PT. IWIP dan memiliki luas konsesi sebesar 45,065 Ha, dimana wilayah Sagea Atas (wilayah Jiguru, Bokimekot, Pintu), juga masuk dalam areal konsesi perusahaan.
“Penemuan lapangan oleh #SaveSagea berupa pembuatan jalan untuk pengerahan alat pengeboran oleh PT. WBN adalah indikasi penyebab pencemaran sungai Sagea. Karena pembuatan jalan dimaksud melintasi anak sungai DAS Sagea,” duga Faiz Albaar.
LATAMLA juga menemukan dokumen Berita Acara hasil kunjungan lapangan Forum Koordinasi DAS Moloku Kie Raha ke DAS Sagea pada 26 dan 27 Agustus 2023. Diantaranya, poin 1 menyatakan bahwa secara faktual di lapangan sudah terdapat perubahan biofisik yang disebabkan faktor non alam / antropogenik (aktivitas manusia); kemudian pada poin 4 yang berbunyi: berdasarkan sebaran IUP di sekitar DAS Ake Sagea, perlu dilakukan pengawasan terpadu dan objektif terhadap aktivitas pertambangan.
Daerah Aliran Sungai (DAS) Sagea memiliki luas 18.200,4 hektar (BPDAS Ake Malamo, 2023), dimana terdapat 3 sungai besar dan ratusan anak-anak sungai. Ironisnya, di sekitar DAS Sagea ini sudah terdapat lima Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang, sebagian konsesinya masuk dalam DAS Sagea, yaitu PT. Weda Bay Nickel seluas 6.858 Ha, PT. Dharma Rosadi Internasional seluas 341 Ha, PT. First Pasific Mining seluas 1.467 Ha, PT. Karunia Sagea Mineral seluas 463 Ha, dan PT. Gamping Mining Indonesia seluas 2.170 Ha. Dari 5 IUP di atas baru PT. WBN yang melakukan aktivitas di bagian hulu DAS Sagea.
“Kami menduga kuat peristiwa keruhnya air Sungai Sagea tidak bisa dilepas-pisahkan dari DAS Sagea yang telah dirusak oleh perusahaan tambang. Materoial tanah bekas bukan tambang dengan mudah tererosi ke sungai yang sudah tentu berdampak tercemarnya ekosistem dan mengganggu aktifitas tangkap nelayan hilir Sungai Sagea,” jelas Presiden LATAMLA, Syed Faiz Albaar.
LATAMLA mengaku segera berkoordinasi dengan pihak terkait, Badan Lingkungan Hidup Daerah Propinsi Maluku Utara, Kemendagri, dan Kementerian Lingkungan Hidup/Kehutanan RI (KLHK) untuk mengungkap penyebab kekeruhan dan tercemarnya DAS Sagea, sekaligus memberi sanksi tegas kepada pihak yang terlibat mencemari. Termasuk ikhwal pencabutan SK Bupati Halmahera Tengah tentang Geosite Bokimanuru sebagai indikasi baru rusaknya DAS Sagea.(red)