OPINI

Pertumbuhan Ekonomi Malut 39,10 Persen Vs Kenaikan UMP 3 Persen

×

Pertumbuhan Ekonomi Malut 39,10 Persen Vs Kenaikan UMP 3 Persen

Sebarkan artikel ini

Oleh: Dr. Said Assagaf, S.H., M.M. (Pengajar Pascasarjana UMMU Maluku Utara)

DI PEKAN terakhir menjelang tutup tahun 2025, muncul kebijakan Pemerintah Provinsi Maluku Utara yang mengejutkan dan memantik reaksi keras karena dinilai kontroversial. Kebijakan tersebut adalah penetapan nilai Upah Minimum Provinsi (UMP) tahun 2026 sebesar Rp3.510.240. Angka ini hanya mengalami kenaikan sebesar 3 persen atau bertambah Rp102.240 dari UMP tahun 2025 yang sebesar Rp3.408.000.

Penetapan nilai UMP yang hanya naik tipis ini mendapat penolakan keras dari Ali Akbar Mohamad, Pengurus Wilayah Federasi Serikat Buruh Persatuan Indonesia (FSBPI) dan Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI) seperti yang dimuat Malut Post, 24 Desember 2025.

Oleh: Dr. Said Assagaf, S.H., M.M.
(Pengajar Pascasarjana UMMU Maluku Utara)

Ketimpangan dengan Pertumbuhan Ekonomi

Menurut Ali, penetapan UMP oleh Dewan Pengupahan Daerah dianggap jauh dari rasa keadilan bagi kaum pekerja. Pasalnya, kenaikan UMP Maluku Utara tidak sejalan dengan pertumbuhan ekonomi daerah yang sangat tinggi. Selain itu, dalam perhitungan UMP, Dewan Pengupahan dinilai tidak mengacu pada formulasi yang ditetapkan oleh regulasi.

Bacaan Sahabat JS  ARAH KEBIJAKAN STRATEGIS PELAYANAN KESEHATAN PRESIDEN PRABOWO SUBIANTO

Bila kita mengacu pada PP Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan (sebagai pedoman penyusunan UMP), terdapat empat kriteria sebagai indikator pertimbangan utama, yaitu Standar Kebutuhan Hidup Layak (SKHL), Inflasi (kemampuan daya beli masyarakat), Tingkat Pertumbuhan Ekonomi Daerah, dan Produktivitas Tenaga Kerja.

Analisis Kritis Berdasarkan Regulasi

Jika kita merujuk pada kriteria di atas, maka keprihatinan pengurus serikat buruh sangat beralasan dari semua aspek, yakni pertama aspek SKHL, bahwasanya nilai Rp 3.510.240 sulit untuk memenuhi tuntutan kebutuhan yang kompleks, mulai dari sandang, pangan hingga papan. Artinya, nilai UMP tersebut dianggap belum memenuhi standar kebutuhan hidup layak.

Bacaan Sahabat JS  Gerakan TOLAK GIBRAN Makin Membahana

Kedua, aspek inflasi. Kriteria inflasi seharusnya tidak hanya dilihat pada posisi normal, tetapi harus mempertimbangkan fluktuasi untuk mengantisipasi kondisi terburuk yang berdampak pada daya beli masyarakat. Ketiga, pertumbuhan ekonomi dan ini adalah poin yang paling fatal. Regulasi tidak membenarkan indikator UMP mengecualikan pertumbuhan dari sektor tambang dan industri pengolahan yang mencapai 39,10 persen. Pertumbuhan tersebut seharusnya dihitung secara akumulatif.

Keempat, produktivitas tenaga kerja. Pekerja atau buruh harus ditempatkan pada posisi strategis sebagai motor penggerak utama, terutama pada sektor berisiko tinggi seperti pertambangan dan industri.

Bacaan Sahabat JS  Ketika Bupati Sula & Pimpinan OPD Bagi-Bagi Beras dan Amplop Di Desa PSU Kabupaten Tetangga

Menuju Solusi yang Adil

Oleh karena itu, diperlukan formulasi penetapan UMP yang adil dan proporsional dengan mengacu pada indikator objektif agar terwujud skema win-win solution. Dalam skema ini, hak pekerja dijamin secara rasional dan wajar, sementara keberlanjutan dunia usaha tetap terjaga kondusif.

Dewan Pengupahan perlu lebih transparan dan akomodatif dengan melibatkan perwakilan pekerja, serikat buruh, serta dunia usaha (KADIN, HIPMI, dan lain-lain) sebagai mitra dalam konteks Hubungan Industrial Pancasila (HIP)—hubungan yang mengedepankan kebersamaan, kesetaraan dan rasa memiliki. Pemerintah pun harus memposisikan diri sebagai fasilitator yang netral dan tidak terkesan menjadi corong pengusaha.

Sesuai teori Harrod-Domar, dalam manajemen modern, investasi sejatinya adalah sebuah collaboration investment yang harus memberikan dampak kesejahteraan yang merata.[]