Jembatan Fangahu Pulau Taliabu, setidaknya jadi contoh gagalnya TAPD mengawasi pelaksanaan fisik pembangunan, dan dapat dikategorikan sebagai kelalaian administratif yang berdampak hukum. Komisi III DPRD Pulau Taliabu juga menemukan fakta realisasi anggaran yang minim di tahun 2025. Bahkan hingga oktober, Komisi III menyebut serapan anggaran belum menyentuk angka 10 persen. Mungkinkah ini kelalaian, ataukah ada sederet soal yang butuh jawaban pasti?
JScom, PULAU TALIABU – Ketua Komisi III DPRD Pulau Taliabu, Budiman L. Mayabubun, melontarkan kritik keras terhadap lambannya kinerja Pemerintah Daerah Pulau Taliabu. Hingga pertengahan Oktober 2025, realisasi pembangunan fisik di seluruh OPD belum mencapai 10 persen, meski anggaran telah dialokasikan sejak APBD murni dan perubahan.
Budiman menilai kondisi ini tidak hanya menunjukkan lemahnya kinerja pemerintahan, tetapi juga membuka dugaan pelanggaran terhadap ketentuan hukum dalam pengelolaan keuangan daerah.
Menurut Budiman, keterlambatan pembangunan dan munculnya proyek tanpa dasar DPA merupakan bentuk pelanggaran terhadap ketentuan.
“
“Mengutip pasal 3 ayat (1) Permendagri Nomor 77 Tahun 2020 yang menegaskan bahwa Pengelolaan keuangan daerah harus dilakukan secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan asas keadilan dan kepatutan,” ungkap Budiman
Dengan demikian, setiap kegiatan yang tidak tercantum dalam Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA) atau tidak melalui proses lelang resmi oleh UKPBJ, tidak memiliki dasar hukum dan dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum administrasi keuangan daerah.
“Ada beberapa pekerjaan fisik yang tidak melalui lelang dan tidak terdaftar dalam DPA, tapi tetap dipaksakan masuk dalam APBD Perubahan. Ini jelas melanggar asas legalitas keuangan daerah,” ujarnya menegaskan.
Budiman menyoroti juga pembangunan Jembatan Fangahu yang hingga kini belum dikerjakan. Padahal, proyek tersebut telah dianggarkan dalam APBD murni sebesar Rp600 juta dan kembali diperkuat pada APBD Perubahan sebesar Rp3,8 miliar.
“Jembatan Fangahu ini seharusnya sudah jalan sejak awal tahun, tapi faktanya tidak ada pekerjaan di lapangan. Ini bentuk kelalaian serius dari dinas teknis dan UKPBJ yang tidak mampu mengeksekusi anggaran,” kata Budiman.
Dia menjelaskan bahwa, kondisi demikian bertentangan dengan Pasal 22 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.
“Kegiatan yang telah dianggarkan wajib dilaksanakan sesuai jadwal dan capaian kinerja yang telah ditetapkan dalam dokumen pelaksanaan anggaran,”tandasnya.
Budiman menegaskan, sebagai kepala daerah, bupati bertanggung jawab penuh atas penyelenggaraan urusan pemerintahan dan pelaksanaan APBD.
“Bupati harus bertanggungjawab. Ini sebagaimana pasal 65 ayat (1) huruf b dan huruf c Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang menyebutkan bahwa kepala daerah memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah dalam mengelola keuangan daerah,” terangnya.
Budiman juga menyebut TAPD memiliki peran strategis berdasarkan Permendagri Nomor 77 Tahun 2020. “Ini tergambar pada pasal 47 yaitu mengkoordinasikan dan mengendalikan pelaksanaan APBD. Kegagalan TAPD mengawasi pelaksanaan fisik dapat dikategorikan sebagai kelalaian administratif yang berdampak hukum,” tegasnya lagi.
Budiman mengingatkan bahwa kegiatan yang dilakukan tanpa dasar hukum anggaran dapat berimplikasi pada dua aspek hukum sekaligus. Kata dia, pertama Akibat administratif, yaitu pelanggaran terhadap sistem pengelolaan keuangan daerah yang dapat berujung pada temuan BPK dan sanksi kepegawaian dan kedua akibat pidana.
“Kalau kegiatan tidak tercantum dalam DPA tapi tetap dijalankan, itu sudah termasuk penggunaan anggaran tanpa dasar hukum. DPRD akan minta BPK melakukan audit investigatif terhadap semua kegiatan semacam itu,” tegas Budiman.
Komisi III DPRD berencana memanggil dinas teknis, UKPBJ, dan TAPD untuk dimintai keterangan resmi terkait rendahnya realisasi fisik dan dugaan penyimpangan tersebut. Budiman menegaskan bahwa lembaganya akan mengawal persoalan ini hingga tuntas. DPRD punya hak pengawasan konstitusional. Kalau bupati dan jajarannya tidak menindaklanjuti temuan ini, maka kami akan rekomendasikan langkah hukum.
“Rakyat menunggu kerja nyata, bukan alasan,” tutup Budiman. (Pri-JS)