Maluku UtaraHalmahera SelatanNASIONAL

“Bobrok” Mulai Terungkap, Latamla Minta Presiden RI Evaluasi Izin dan AMDAL Harita Grup

×

“Bobrok” Mulai Terungkap, Latamla Minta Presiden RI Evaluasi Izin dan AMDAL Harita Grup

Sebarkan artikel ini
Harita Group, Perusahaan Tambang di Pulau Obi, Halmahera Selatan, Maluku Utara

Fakta pilu Warga Kawasi konon mulai dilirik pihak Perusahaan Tambang Raksasa Harita Grup. Iya,  Lirikan setelah kurang lebih sembilan bulan, hidup sengsara tanpa listrik dan pasokan air bersih. Lirikan setelah puluhan warga Kawasi nekat boikot jalan dan aktifitas perusahaan tambang itu selama delapan jam. Lirikan Mata yang Terpaksa. Lembaga  Advokasi  Tambang dan Laut (Latamla) meminta Presiden RI evaluasi Harita Group, meminta kementerian terkait evaluasi Dokumen AMDAL perusahaan yang sudah bikin rakyat menderita.

JScom, MALUKU UTARA – Lembaga Advokasi Tambang dan Laut (Latamla) menyesalkan kebijakan dan sikap Harita Group di Pulau Obi, Halmahera Selatan, Maluku Utara. Harita hampir pasti abaikan kebutuhan dasar masyarakat lingkar tambang, warga desa Kawasi. Bagaimana bisa aliran listrik diputus tanpa alasan jelas hingga kurang lebih sembilan bulan terakhir?. Bagaimana mungkin air bersih sulit diperoleh warga desa Kawasi selama sembilan bulan di lingkungan perusahaan-perusahaan hebat?

Direktur LATAMLA Syed Faiz Albar mengatakan aksi puluhan warga Desa Kawasi yang memboikot aktifitas perusahaan tambang Harita Grup di Pulau Obi, Sabtu (15/11) , selama kurang lebih delapan jam, sebagai perlawanan rakyat menuntut hak di area lingkar tambang.  

“Harita ini perusahaan besar dan hebat. Harusnya kondisi seperti ini tidak perlu terjadi. Atau mungkin kondisi ini sebagai jalan mengungkap borok perusahaan yang selama ini di-stigma sebagai perusahaan yang patuh regulasi,” kata Faiz.

Bacaan Sahabat JS  Jasad Jurnalis MetroTV Sahril Helmi Ditemukan di Pantai Sabatang Bacan Timur

Faiz juga menyayangkan Harita Grup yang nyaris tak punya nurani, membiarkan warga hidup tanpa listrik selama berbulan bulan. Dan herannya, perusahaan baru mau peduli dan ajak bicara masyarakat  ketika warga boikot aktifitas Harita Grup.

Latamla meminta Presiden RI Prabowo Subianto dan Kementerian terkait mengevalusi Harita Group memeriksa izin dan mengawasi pelaksanaan  AMDAL. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Komnas HAM, dan Ombudsman RI segera turun tangan menyelidiki kasus pelanggaran hak dasar dan dugaan pembiaran oleh perusahaan.

Latamla juga mengingatkan bahwa aksi warga Kawasi adalah bentuk ekspresi demokrasi yang dijamin oleh undang-undang. Pemerintah daerah dan aparat keamanan kiranya support terhadap perjuangan rakyat menuntut hak, aparat bertindak netral serta tidak menjadi alat pembungkaman kepentingan koorporasi.

Sementara Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Maluku Utara menilai fakta ironi perusahaan yang bergelimpangan daya listrik, dan warga desa Kawasi yang merana tak menikmati listrik, adalah ketimpangan sosial. Betapa akses sumberdaya dasar yang diperoleh masyarakat di kawasan industri strategis menjadi sulit dan terabaikan.

Perwakilan Walhi Maluku Utara Nursin R. Gusao, mengatakan kapasitas pembangkit listrik Harita jauh lebih dari cukup. “Hitung-hitungan kapasitas PLTU mereka bisa menerangi Jakarta. Tapi memenuhi kebutuhan 200-an kepala keluarga di Kawasi saja tidak mampu. Ini menunjukkan ada persoalan serius,” ujarnya.

Bacaan Sahabat JS  Hallo KPK dan @Gerindra, Pemerintah Mengaku Pegang Bukti Ekspor Ilegal Nikel 5 Juta Ton, Lalu?

Desa Kawasi dan warganya adalah pihak terdampak langsung industri nikel. Walhi mengungkap warga harusnya berhak atas kehidupan layak. “Mereka ring satu pertambangan. Akses air bersih dan listrik bukan fasilitas tambahan—itu hak dasar,” kata Nursin.

Diketahui, puluhan warga Kawasi kembali menuntut masalah Air Bersih dan Listrik di kawasan PT Harita Group, Sabtu, 15 November 2025. Aksi pemboikotan dilakukan pada pukul 10.20 WIT hingga pukul 18.13 WIT, tepatnya di jalur Produksi Nikel PT. Harita Group.

Warga momboikot karena merasa tidak ada itikad baik dari pihak perusahaan saat melakukan pertemuan dengan warga setelah aksi pertama yang dilakukan pada Jumat kemarin. Salah seorang warga, Nurhayati Nanles mengatakan, kesepakatan yang dibuat bersama pihak perusahaan adalah Desa Kawasi harus menikmati sumber air bersih dan listrik yang ditanda tangani  (hitam di atas putih) oleh toko agama, toko masyarakat dan pimpinan site Harita Group. Namun, pihak perusahaan justru mengabaikan kesepakatan tersebut.

Aksi boikot yang berlangsung kurang lebih 8 jam, sempat terjadi gesekan antara pihak keamanan dan warga kawasi. Hal itu dipicu oleh beberapa oknum anggota TNI-Polri yang berupaya melakukan intimidasi terhadap Direktur Walhi Malut saat ia membela warga dalam proses negosiasi.Situasi kembali normal usai pihak keamanan menarik diri.

Bacaan Sahabat JS  LATAMLA : Kausalitas Pencabutan Status Geosite Bokimaruru dan Rusaknya DAS Sagea, Perlu Dibuktikan

Mubalik Tomagola selaku Manager Advokasi Tambang mengatakan, warga Kawasi selama ini hidup dalam ancaman krisis ekologis dan sosial akibat aktivitas industri ekstraktif di wilayah mereka.

“Air bersih yang seharusnya menjadi kebutuhan dasar justru hilang karena aktivitas perusahaan. Padahal air bersih yang menjadi tanggung jawab perusahaan hanyalah Greenwashing dimata publik dan mata IRMA,” ujarnya.

Mubalik juga menegaskan bahwa tindakan intimidasi dan upaya kriminalisasi terhadap WALHI tidak akan meredamkan perjuangan masyarakat Kawasi untuk mendapatkan hak-hak mereka. “Kami mengecam keras tindakan represif yang dilakukan aparat. Pejuang lingkungan bukan penjahat, kami hadir untuk memastikan masyarakat tidak diperlakukan sewenang-wenang.

Jika aparat terus bertindak dengan cara seperti ini, maka jelas ada upaya pembungkaman terhadap perjuangan warga,” tambahnya.

Sementara Kordinator aksi, Ucok S. Dola menegaskan pihak perusahaan tidak hanya mengabaikan kesepakatan, namun secara sistematis mengurangi ruang hidup dan ruang demokrasi warga.

“Kami sudah berulang kali mengajukan dialog, tetapi selalu dijawab dengan janji kosong. Yang terjadi justru intimidasi, bukan penyelesaian. Warga hanya ingin hidup layak di tanah mereka sendiri, bukan menjadi korban demi kepentingan ekonomi negara,” tegas Ucok.(Jev-JS)